Thursday 9 February 2012

Ingin rasanya mengaktifkan blog multiply ini kembali...semoga Allah SWT memperkenankan...karena saat ini, banyak yang ingin di share, hanya saja prioritas waktu masih belum menemukan titik temu....

Tanggapan Terkait Permendikbud No 60 2011

Setelah membaca blog milik Mas Elfarid di http://elfarid.multiply.com/journal/item/1501 yang berjudul


saya tergelitik untuk menulis lagi...menumpahkan isi hati dan jeritan nurani seorang pendidik yang juga berkiprah di dunia pendidikan.

Sebenarnya kalau dilihat dan dicerna secara jernih ditambah informasi update dari lapangan, efek dari Permendikbud ini sangat luas dan besar. Kalau aturan ini diaplikasikan secara proporsional dan dilaksanakan secara adil oleh operator pendidikan tanpa ada sedikitpun yang berusaha melakukan aksi ambil untung maka Insya Allah tidak akan ada kekisruhan.

Pada kenyataannya, DKI Jakarta misalnya, propinsi dengan APBD Share yang besar untuk skema pembiyaan pendidikan, merupakan salah satu propinsi yang lumayan kacau untuk masalah pendistribusian dana. Ditambah koordinasi antara operator pendidikan dengan lembaga/dinas terkait yang tidak harmonis.

Saya coba gambarkan skema dan ilustrasi berikut.
Sebuah sekolah mendapat total dana operasional pendidikan Rp. 20 juta, dengan alokasi untuk pembiayaan peserta didik, sarana dan prasarana pendidikan, listrik (PLN), Air (PDAM), termasuk gaji guru honorer.

Bila dana tersebut diterima setiap bulan secara tepat waktu oleh bendahara sekolah, Insya Allah tidak ada masalah. Masalah kemungkinan muncul pada kebutuhan biaya untuk menggaji guru honor, karena persentase untuk gaji guru honor tidak ditetapkan secara proporsional oleh Pemerintah, akibatnya bila suatu sekolah memiliki jumlah guru honor yang banyak, maka siap2 mereka mendapat gaji dibawah UMR.

Masalah menjadi semakin besar ketika ternyata dana tersebut nyatanya hanya cair setelah masa tertentu (3-4 bulan), padahal kebutuhan berjalan setiap bulan. Apalagi PDAM dan PLN tidak mau tahu dengan tagihan Listrik dan Air dari sekolah. Maka mau tidak mau sekolah harus mencari sumber dana lain, bisa berupa pinjam ke Koperasi Sekolah regional dll, yang otomatis beban menjadi bertambah (Mis : Kebutuhan 20jt per bulan, karena dana di rapel per 4 bulan, maka beban 80 juta selama 4 bulan harus dicari jalan keluarnya oleh operator pendidikan ditambah bunga/administrasi pinjaman, berarti setelah dana cair 4 bulan kemudian, saldo kas sekolah justru menjadi negatif), masalahnya pemerintah tidak mau tahu dengan kondisi tersebut, yang penting anggaran sudah terserap 100%. Walau entah siapa saja yang turut menyerap anggaran tersebut.

Terkait guru Honor, semakin menyedihkan lagi, karena tahun 2011-2012 tersiar khabar tidak akan ada penambahan PNS, yang ada ada pensiun dini untuk guru yang "tidak produktif", saya menggunakan tanda kutip, karena dilapangan, definisi "tidak produktif" sangatlah subjektif. Batasannya tidak terang benderang...ada banyak sekali unsur "like" dan "dislike" disana, memang sulit dibuktikan sebagaimana halnya dengan Kejahatan Kerah Putih lainnya.

Kondisi tersebut diatas ditunjukkan dengan semakin membanjirnya proposal pinjaman dari sekolah kepada Lembaga Koperasi Sekolah Regional untuk menutupi kebutuhan operasional bulanan pendidikan di sekolahnya masing-masing.

Masalah menjadi kian rumit, karena dana pinjaman tersebut tidak dapat ditransfer langsung ke rekening sekolah, karena Dinas Pendidikan menganggap hal tersebut sebagai pungutan dana yang illegal (bukan transferan dari Pemerintah melalui Bank Pemda, namun dari Rek Koperasi.) Sebagai jalan keluar, digunakanlah rek bank atas nama pribadi (Kepala Sekolah atau Bendahara Sekolah). Hal ini tentunya memperbesar kemungkinan terjadinya kebocoran anggaran. (asumsi : jauh lebih banyak Kepala Sekolah/Bendahara Sekolah yang jujur dan amanah daripada yang money oriented)

Entah ini yang diinginkan oknum operator pendidikan atau memang "Bug Hole" yang tidak diantisipasi oleh Sisitem Perundangan yang berlaku.

Alasan Pemda (Eksekutif) terlalu klasik, yaitu agar turunnya dana dapat sekaligus, padahal kalau dihitung bunga yang didapat dari dana tak bergerak selama 4 bulan sangat besar...Dalam hal ini, saya secara pribadi, sangat prihatin kepada Pegawai Pemda yang memakan Riba dengan disadari maupun tidak karena sudah menyatu dalam gaji yang diterimanya...(semoga zakat mereka dapat membersihkan harta mereka dari akibat yang disebabkan oleh ketidak tahuan mereka atau tindakan koruptif yang tidak pernah terlintasdi dalam benak mereka). Padahal DPRD (Legislatif) sudah selalu membuat keputusan terkait pembiayaan tahunan pendidikan satu bulan sebelum tahun anggaran dimulai (Diputuskan Nov or Des 2011 untuk pencairan dana sepanjang 2012).

Semua keruwetan ini memunculkan kondisi yang sangat tidak kondusif untuk pembangunan kualitas pendidikan di DKI Jakarta. Akibatnya bisa ditebak, kualitas pendidikan negeri di Jakarta cukup tertinggal dibandingkan daerah lain...apalagi bila dibandingkan dengan Lembaga Pendidikan Swasta yang semakin menjamur dengan fasilitas dan prasarana yang jauh lebih maju dibandingkan yang diberikan Pemerintah.

Kalau mau dicermati lebih cermat lagi...sebenarnya pendidikan kita ini mau dijadikan kawah candradimuka pencetak generasi penerus bangsa yang berkualitas, atau hanya sekedar dijadikan komoditas ekonomi saja? Mengingat sampai saat ini Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi salah satu lembaga terkorup di negeri ini selain Kementrian Agama. Sungguh miris...kita bagaikan ayam yang hidup dan tinggal di lumbung, namun kelaparan dan tidak terurus...

Wallahua'lam