Friday 28 May 2010

Membumikan Pendidikan Islam

Membumikan Pendidikan Islam


Era globalisasi adalah sebuah efek dari perkembangan peradaban manusia dewasa ini. Salah satu dari kemajuan beradaban adalah kemajuan Sains dan teknologi yang pesat. Kemajuan sains dan teknologi yang sangat pesat mempunyai dampak yang serius dalam berbagai segi kehidupan. Dampak itu menuntut kita agar menentukan sikap yang tepat dan sesuai dengan nilai 'syumuliyatul - insan' dengan menciptakan three balance; ruhiyah, fikriyah dan jasadiyah. Ketiga unsur tersebut terintegrasi secara utuh untuk menolak trikotomi.

Ketika trikotomi benar-benar terjadi terjadi, maka akan hadir karakteristik keilmuan yang justru semakin dipertanyakan timbangan komitmennya, yaitu komitmen ilmiah, komitmen moral dan komitmen spiritual. Pada akhirnya profil yang demikian akan secara meyakinkan akan kewalahan mengantarkan ummat ketingkat mature of civilization yang bisa dipertanggung jawabkan proyek kerjanya. Tidak ada yang mengingkari bahwa gejolak sains juga ikut meramaikan khazanah peradaban manusia, baik dalam format teori atau karya kemanusiaan. Namun karena ia adalah hasil Budi dan Daya serta Amal manusia, maka tidak dalam pelaksanaannya tidak dapat lepas dari evaluasi.

Dalam sebuah kesempatan Dr. Munawar Ahmad Anees, seorang pakar biologi yang telah banyak menulis tentang masalah-masalah etika dan moral dalam bidang sains dan teknologi, mencoba mengevaluasi fenomena ini dengan mengatakan "... ketika ilmu pengetahuan kemudian diterjemahkan dalam tindakan sosial, maka masyarakat apakah yang akan terbentuk?"

Benar apa yang diungkapkan beliau bahwa potret-potret peradaban pada zaman interplaniter ini belum bisa mewakili idealisme kemanusiaan yang kita harapkan. Negara sosialis dan kapitalis yang notabene beraliansi material dan menerapkan praktek sekularisme, mulai berguguran menunggu lahirnya pelaku baru.

Kondisi mereka telah disinyalir oleh Allah SWT dalam QS Al Nahl : 26

قَدْ مَكَرَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَأَتَى اللَّهُ بُنْيَانَهُمْ مِنَ الْقَوَاعِدِ فَخَرَّ عَلَيْهِمُ السَّقْفُ مِنْ فَوْقِهِمْ وَأَتَاهُمُ الْعَذَابُ مِنْ حَيْثُ لَا يَشْعُرُونَ

"Maka Allah Swt hancurkan sendi-sendi dan fondasi bangunan mereka dan runtuhlah atap bangunannya serta hancurlah apa yang mereka bangun, kemudian datanglah adzab kepada mereka tanpa mereka rasakan."

Sebagai reformasi orientasi pendidikan sains, khusus untuk dunia Islam, maka Ismail Roji al Faruqi beserta kawan-kawannya di IIIT mencoba untuk memulai dari pembenahaan dan penataan kembali pola berfikir ummat Islam. Reorientasi pendidikan sains dirasa sangat perlu mengingat sains merupakan salah satu perangkat terpenting untuk maju dan bangkit.

Visi Pendidikan Islam

Pendidikan ibarat sebuah rahim yang didalamnya terdapat gen-gen dengan komposisi yang rapi dan dengan segala benih-benih kapabilitas yang ada. Ia juga merupakan sebuah iklim yang memenuhi syarat untuk memelihara dan menumbuh-kembangkan segala potensi dan kapabilitas yang diperlukan oleh masyarakat yang terpendam pada setiap individu. Maka dari itu perlu adanya usaha penggalian potensi, pengarahan (orientasi) dan perencanaan yang baik.

Hingga saat ini masih terlalu banyak pos-pos yang kosong yang sangat membutuhkan profesionalisme (spesialisasi kerja). Kelemahan kita disini adalah kurang berani mengeksploitasi sumber daya untuk kemudian mengarahkannya kebidang-bidang yang terspesialisasi.

Kemudian perlu diyakini bahwa proses pendidikan adalah produk simultan sekaligus stratum yang terintegrasi dalam sebuah sistem ilmu pengetahuan. Tidak mungkin ada orang yang berbicara tentang pendidikan [pendidikan umum ataupun pendidikan islam] tanpa memiliki kecakapan yang cukup dalam bidang Agama, Sirah (Sejarah hidup Nabi SAW dan para Shahabat) dan Sejarah Peradaban Islam. Karena pada hakekatnya ia merupakan sebuah konfigurasi dari berbagai spesialisasi dan dari rahimnya akan terlahir produk pendidikan. Tanpa adanya faktor-faktor ini tidak mungkin akan terjadi sebuah kelahiran, karena 'rahim' pendidikan saat itu sudah masuk fase 'monophause'.(1)

Kita juga terhenyak ketika Amerika, sebagai polisi dunia dan mendahului Uni Soviet berlayar ke angkasa luar, menemukan sebuah tantangan besar yaitu rusaknya UU pendidikan dan pengajaran serta mengalami defisit sumber daya manusia (para inovator) yang kapabel. Maka dibentuklah sebuah komite yang spesifik menangani fenomena bahaya ini yang mereka sebut dengan "Ummat yang dilanda Krisis." Karena rusaknya UU yang mengatur pendidikan dan pengajaran. Bahkan Presiden George Bush (Ayah dari Presiden George W Bush) dalam setiap kampanye selalu mengatakan bahwa ia akan menjadi tokoh pendidikan dan pengajaran. Bahkan Robert D Hormats, ahli dan penanggung jawab bidang ekonomi AS, ketika ditanya tentang problem ekonomi AS yang paling urgen mengatakan: "Bahwa UU pengajaran belum mendapat perhatian yang cukup," (koran Al Bayan 10/11/1990).

Lebih lagi Prof. Alan Slome, dosen pengajar di Chicago, membeberkan secara gamblang dalam salah satu bahasan dibukunya yang banyak tersebar dengan tema "Intelektualitas Bangsa Amerika yang Tumpul," yang pada tahun 1988 banyak membuka mata kalangan akademisi AS tentang tertutupnya 'kebebasan' bagi kalangan pendidikan tingkat tinggi dan gagalnya sekolah serta perguruan tinggi dalam menanamkan pengetahuan dasar kepada peserta didik, beliau mengatakan:"Lembaga-lembaga pendidikan saat ini sedang ditimpa penyakit kelesuan berfikir, sehingga akibatnya hanya melahirkan generasi yang jauh dari karakter sense of civilization (cita rasa peradaban)."(2)

Jadi, secara umum, pendidikan yang sebenarnya adalah yang mampu mengintegrasikan segala keinginan, menggali segala potensi, mengenali kapabilitas dan kecenderungan yang ada, kemudian membekalinya dengan ketrampilan sehingga mampu berinteraksi dengan realita yang ada dan ikut bangkit mencapai idealisme dan sasaran-sasaran yang memungkinkan untuk di capai.(3)

Adapun pendidikan Islam sendiri kiranya tidak jauh dari kenyataan pahit semacam itu. Semboyan bahwa risalah Islam itu abadi dan relevan di setiap waktu dan tempat kiranya perlu diterjemahkan secara intensif dalam kerja pendidikan dan pengajaran.

Tidak seringnya kita mengulang-ulang semboyan itupun juga tidak akan mengurangi bahwa Risalah Islam abadi dan selalu relevan. Kondisi pendidikan Islam saat ini yang kurang mampu mencetak profil yang ideal diantaranya karena kita selalu berdalih dengan keabadian Risalah (Khulud al Risalah) yang mengesankan tidak ada kilas balik dari ummat ini. Kemudian juga karena pikiran kita yang mengklaim bahwa sarana-sarana pendidikan itu harus 'Islami' masih sangat terbatas penafisrannya, dan perlu pengkayaan kembali maknanya dan pengembangannya hingga mampu menjadi 'syuhud al had hari' dan sesuai dengan sifat khulud al risalah.(4) Karena memang benar adanya bahwa: "Al bayan minal sama wa al dalil mina al ardh," (penjelasan/juklak itu dari langit, adapun pembuktian dalam kerja dari bumi).

Kemudian visi pendidikan tentang ilmu pengetahuan juga perlu dievaluasi dan diperkokoh jika memang telah benar. Sebab ilmu sendiri merupakan sarana yang mengantarkan manusia untuk membangun sebuah peradaban yang lebih matang. Bangunan ideal yang diharapkan tegak itu tidak akan eksis kecuali jika subyek pembangunan itu sendiri menempatkan dirinya secara profesional sebagai mana yang diharapkan Islam dalam memandang sarana tersebut.

Yang perlu ditekankan lagi dalam proses pendidikan Islam bahwa hubungan antara ilmu dan iman adalah hubungan yang dibina secara dinamis dan bukan dua kutub yang paradoksal.

Visi yang keliru tentang hubungan antara ilmu dan iman memang pernah merebak luas di benua Eropa pada abad-abad pertengahan. Ketika itu lembaga spiritual gereja mandul dalam memegang peranannya, berbalik mendukung pemahaman khurafat dan memerangi ilmu pengetahuan. Selain itu juga menciptakan kondisi yang jumud (ortodox) dan taklid, memborgol kebebasan berpikir dan berkarya. Mereka bahu-membahu dengan para tuan tanah dan penguasa menciptakan jurang pemisah antara mereka dan masyarakat marginal. Semboyan yang mereka agung-agungkan adalah: "Iman dahulu baru ilmu (berpengetahuan)," atau "Berkeyakinan dengan apa adanya (dalam kondisi buta)," dan semboyan yang disambung melalui lidah para keuskupan dan pastoral:"Pejamkanlah matamu kemudian ikutilah aku." (5)

Adagium-adagium diatas sangat tidak sejalan dengan semangat Islam yang mempunyai konsep ilmiah dalam segala aksi-aksi menolak keyakinan (aqidah) berdasarkan taklid buta, seperti yang telah disitir dalam QS Al Maidah:104.

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ

 "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati dari bapak-bapak kami mengerjakannya,"

dan QS Al Ahzab:67:

وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا

"Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin dan pembesar kami,"

atau perkataan: " Sesungguhnya diriku ini tergantung pada manusia." (6) Dan masih banyak lagi bantahan-bantahan Al Qur'an tentang hal serupa sebagaimana Islam menolak bahwa tidak cukup bagi seorang muslim hanya berakidah belaka tanpa 'Al Ilmu & al Yakin,' Dalam  QS al Nisa:157 Allah SWT menjelaskan hal tersebut.

وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللَّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِنْهُ مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلَّا اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوهُ يَقِينًا

“Dan karena ucapan mereka: "Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah", padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa.”

Al Qur'an menempatkan 'al Ilmu al Haq' sebagai penyeru dan petunjuk ke kawasan iman Dalam QS. Al Hajj:54, Allah SWT menjelaskan

وَلِيَعْلَمَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَيُؤْمِنُوا بِهِ فَتُخْبِتَ لَهُ قُلُوبُهُمْ وَإِنَّ اللَّهَ لَهَادِ الَّذِينَ آمَنُوا إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al Quran itulah yang hak dari Tuhan-mu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.“

Ilmu yang benar akan diikuti proses selanjutnya dengan iman, kemudian ia akan diikuti gerak hati (wujdan) dengan tunduk dan khusyuk kepada Dzat Yang Maha Tinggi. Ilmu merupakan dalil amal, sebagaimana ia juga dalil iman.

Imam Bukhari juga turut meletakkan konsep dasar keilmuan dalam bukunya "Al Jami al Shohih" beliau mengatakan,"Ilmu ibarat pintu, sebelum berucap dan beramal." (7) Dalam arti kecepatan kata dan tindakan seyogyanya tidak melebihi kualitas dan kuantitas keilmuan seseorang, sehingga tidak terbentuk profil split personality (kepribadian yang tidak utuh).

Bahkan menurut Ibnu al Munir jika muatan kata dan tindakan lebih berat ketimbang muatan ilmu maka ia dianggap sebagai kepribadian yang tak bernilai. Dalam konsep Imam Bukhari dapat ditarik kesan bahwa kekuatan ilmu apapun tidak akan memberikan keuntungan yang berarti pada jajaran kemanusiaan jika tidak menyeberangi jembatan amal dan ini merupakan Islam mainstream, sekaligus sebagai warning bagi mereka yang mengabaikan urgensinya posisi ilmu dan menganggap remeh dalam proses pencariannya. (8)

Kondisi ummat Islam akan lebih terpuruk jika kawasan rasionalitas atau intelektualitasnya di bawah kendali ideologi-ideologi yang bertolak belakang dengan proyek rekonstruksi 'Syumuliyatul – insan'. Apalagi daerah-daerah yang menyentuh lapisan aqidah. Sebab daerah tersebutlah yang menuntun manusia dalam memandang wujud, kehidupan, tindakan manusia, situasi dan kondisi sekitar, nilai/norma, etika, adat-istiadat dan dan semua substansi yang ada korelasinya dengan kejiwaan manusia dan pola hidupnya. (9)

Maka dengan demikian pendidikan masyarakat (makro) tidak akan berhasil jika tidak diperhatikan sarana efektif dan intensif pendidikan mikronya (keluarga dan individu). Dan proses kematangan sosial akan lebih terhambat jika muncul, berkembang dan dipelihara sikap otoritas pendidikan sosial oleh penguasa yang diktator.

Benarlah apa yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw; "Pemimpin kalian adalah cerminan dari kepribadian kalian." Jadi, penguasa dan pemimpin tidak lain hanyalah barang warisan sebuah masyarakat (komunitas): pola pikirnya, iklim pendidikannya dan pengetahuannya. Dengan demikian, berarti hubungan antara individu dan jama'ah (masyarakat) dalam proses pendidikan dan pengajaran dimungkinkan sekali keduanya dalam satu waktu menjadi premis dan outcome. Sebab kenabian, misalnya, tidak lain hanyalah gerakan individu-individu yang merubah wajah masyarakat dan lingkungan. Akan tetapi yang menjadi catatan penting bahwa gerakan pembaharuan tidak mungkin berhasil tanpa adanya pembinaan berkelompok dan berkala.

Maka semakin solid perkataan yang berbunyi "Manusia tergantung kepada ideologi penguasanya." Betapa banyak tindakan tirani seorang penguasa menular kepada rakyatnya, mematikan ruh rakyat disebabkan bercokolnya faham Fir'aunisme pada diri penguasa. (11)

Penguasa juga, dilain faktor, yang menentukan jarak imaginasi pada kepribadian rakyat antara dunia dan akhirat. Sebab siapa lagi yang akan mengarahkan suatu negara menjadi beraliran sekuler, atheis, kapitalis, sosialis atau gado-gado seperti Indonesia kalau bukan penguasa?

Referensi Pendidikan Islam

Kalau poros pendidikan (central of reference) hanya terpaku pada kemampuan manusia, sementara kekuatan manusia --baik lahir maupun batin-- nisbi kemana lagi akan disandarkan? Disinilah perlu merujuk kepada konsep penyatuan antara kekuatan 'bayan samawi' dengan 'dalil ardhi', atau kekuatan 'al-fikr' yang bersumber kepada 'al-dzikru' (Allah Swt). Hal tersebut sangat urgen dikarenakan beberapa alasan (12):

1. Agar tidak terjerumus kepada substansi-substansi yang lemah dan mengancam tegaknya nilai-nilai 'syumuliyatul-insan', dikarenakan keterbatasan pemahaman kita. Rasulullah Saw mengingatkan agar kita: "Tidak menghancurkan Ka'bah kemudian membangunnya." Padahal kaum Quraisy saat itu menginginkan agar ka'bah dihancurkan kemudian dibangun oleh mereka, agar mereka bisa berkata bahwa hanya mereka yang membangun ka'bah.

Menurut Imam Bukhari hadits-hadits menerjemahkan hadits ini dengan suatu bab yaitu "Bab orang yang meninggalkan sebagian pilihan karena khawatir akan terbatasnya pemahaman sebagian manusia tentang hal itu, sehingga mereka akan terjerumus pada realita yang lebih membahayakan."

2. Agar tidak terjadi fenomena pemubadziran ilmu. Karena setiap disiplin suatu ilmu ada pintu masuknya (entrance) dan ada pintu keluarnya (exit). Ini sejalan dengan konsep Imam Mawardi yang mengatakan: "Ketahuilah bahwa setiap ilmu ada permulaannya yang mengantrakan ke hulu suatu ilmu dan pengantarnya yang menunjukkan pada hakekatnya. Maka hendaklah mereka yang mencari ilmu memulai studinya dari permulaan agar sampai pada akhir. Dan mulai dari pengantar suatu ilmu agar sampai pada hakikatnya. Janganlah mencari 'akhir' sebelum 'permulaan.' Begitu juga mencari hakikat sebelum pengantarnya, sehingga 'akhir' tidak tercapai begitu juga hakikatnya. Karena sesungguhnya bangunan tanpa fondasi tidak akan tegak berdiri. Dan mengharapkan buah tanpa menanam tidak akan menuainya."

3. Agar ilmu tersebut tidak membuat peserta didik semakin menjauh dan menjaga jarak dengannya, dikarenakan kita tidak menimbang kekuatan rasio mereka.(14) Karena si pencari ilmu jika menjumpai suatu masalah yang tidak ia kuasai akan mengakibatkan kerusakan keseimbangan (equibilirium), atau bahkan membuatnya tersesat di tengah hutan belantara tidak mengetahui dimana ada jalan selamat.

4.      Tidak terjebak pada gaya berpikir 'wah'. Karena jika para pemula yang telah menyerap beberapa informasi ilmu pengetahuan kemudian tidak divisualisasikan dalam amal, akan membuatnya terjebak menjadi tukang menjual teori. Mungkin seperti filosof yang menolak konsekuensi iman.

5. Agar kita selamat dari tindak kesalahan. Karena, "Jika setiap orang menceritakan segala hal yang ia dengar maka akan ditemukan banyak salahnya, sehingga ia akan ditinggalkan oleh manusia dan tidak dijadikan sandaran perkataannya." (15)

6. Untuk menghindari adanya tindakan mengada-ada dalam agama (al Ibtida' fi al din). Seperti berbicara kepada kaum awam yang tidak bisa dipahami dan tidak rasional. Hal itu sering disebabkan karena seseorang tidak menapaki tangga-tangga ilmiah di masa pencariannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syatibi dalam bukunya Al I'tisham, sehingga orang tersebut dijauhkan pribadinya dari kata-kata hikmah, bahkan kemungkinan besar menjadi fitnah.

7. Menjaga agar para penuntut ilmu tidak mencapai titik jenuh sehingga mereka lari meninggalkan sumber ilmu, sekaligus hal tersebut akan mengurangi kharisma seseorang. Luqman al Hakim mengabstraksikan kondisi ini dengan berkata,"Sesungguhnya orang yang alim dan bijak ia akan mengajak manusia kepada ilmunya dengan diam dan merendah diri, sedang orang yang alim tapi pandir ia akan menjauhkan manusia dari ilmunya dengan memperbanyak igauan dan pembicaraan yang tidak jelas arahnya."

8. Menghindari ketidak-seimbangan antara aktivitas ilmu dan aktivitas amal (praktek). Pengalaman para alim yang bijak menunjukkan ketidak-senangan mereka jika terjadi ketidakseimbangan antara logika (manthiq) dan rasio (akal). Sebagaimana yang dituturkan oleh Sulaiman Ibnu Abdul Malik,"Kelebihan bobot logika atas rasio adalah penipuan. Dan kelebihan bobot rasio atas logika adalah aib." Bahkan Ahnaf bin Qais mengatakan, "Kematian seseorang tersembunyi di bawah lidahnya."

Sudah sejauh itu Islam telah mengantisipasi 'fitnah' yang akan terjadi jika muncul fenomena yang tidak sejalan dengan semangat Islam. Langkah-langkah antisipasi itu merupakan bingkisan Islam terhadap dunia pendidikan sehingga usaha menciptakan pendidikan yang 'Rabbani-Oriented' (Rabbaniyat al Taklim). Hal tersebut bertujuan mengembalikan posisi ilmu pengetahuan secara proporsional dengan menyatukan unsur-unsur dalam (fitrah) manusia ; ruh, akal dan jiwa.

Al Qur'an telah memberikan sinyal-sinyal positif bagi para cendekiawan yang berjuang dalam pengembaraan ilmu agar tidak masuk dalam kategori ilmuwan (expert) yang hanya tahu dan peduli terhadap fenomena keduniaan dengan mendeskreditkan permasalahan metafisik (akhirat/ghaib). Hal ini ditunjukkan Allah SWT dalam QS al Rum:7

يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.”

Diharapkan setiap muslim juga mampu menempatkan diri pada posisi yang ideal yang mampu menyatukan antara kekuatan fikir dan dzikir. Atau menyatukan proses natural (ilmi) dengan supernatural (metafisik).

Imam Syafi'i sendiri dalam kisah perjalanan ilmiahnya membagi kehidupannya sehari-hari menjadi tiga bagian ; sepertiga untuk aktivitas keilmuwan, sepertiga untuk ibadah (dengan cakupannya yang universal) dan sepertiga untuk istirahat.

Bahkan Al Rabi' menuturkan bahwa Imam Syafi'i sendiri --rahimullah-- menamatkan bacaan Al Qur'annya pada bulan ramadhan sebanyak 60 kali, semuanya pada waktu shalat (16), padahal begitu deras dan tajam ujung pena beliau dalam menghasilkan karya-karya yang monumental dan dijadikan pedoman dalam rujukan oleh semua ulama di dunia Islam.

Strategi Pengembangan

Keabadian risalah dan penutup kenabian (Khatm al Nubuwah) merupakan jaminan samawi yang memerlukan jaminan ardhi (amal nyata dari bumi). Maka perputaran roda peradaban tetap berjalan sesuai dengan sunnahnya, meskipun ummat ini mempunyai jaminan samawi bahwa mereka akan memimpin peradaban. Tapi bukankah hal itu juga dengan prasyarat 'in kuntum mukminin?' (penterjemahan nilai-nilai iman dalam segala aspeknya).

Aspek kausalitas inilah yang sering dipendam dalam-dalam oleh kita, sambil berbangga bahwa kita mempunyai 'guarantee' dari langit. Dengan demikian pada hakikatnya kitalah yang mempunyai tanggung jawab mengemban konsep nubuwwah (al risalah) dengan segala jaminan yang ada.

Diantara jaminan samawi yang disambung lewat lidah Rasulullah Saw, sebagai stimulus umat ini untuk selalu mengupayakan aktivitas peradaban dan mencapai sebuah kemajuan dan kebangkitan adalah perkataan beliau,"Ummatku tidak berkumpul dalam hal kesesatan."

Pernyataan tersebut  merupakan jaminan tekstual dan praktekal bahwa ummat ini memiliki kemampuan untuk bangkit dan maju. Ini bukan berarti tanpa hambatan dan tantangan. Diantara tantangan yang menjadi penyakit dalam tubuh ummat ini adalah lesunya instansi-instansi pendidikan untuk menciptakan kantong-kantong pergerakan ummat saat ini yang sehat dan lemahnya instansi-instansi konvensional untuk membaca setengah bagian lagi dari dimensi kehidupan ini, seperti dimensi ilmu-ilmu kemanusiaan dan kemampuan untuk membaca sunnah-sunnah sosial yang terbentang luas dalam kejiwaan manusia dan alam ini.

Dua kelesuan berikut ini; lesunya memahami wacana alam ( kitab al kaun) dan sosial (al ijtima' al basyari), mempunyai kilas balik terhadap kemampuan membaca al kitab dan al sunnah yang rendah. Inilah yang barangkali membuat perputaran roda ummat ini diluar orbit peradaban dunia saat ini. Ditambah lagi dengan kesalah-pahaman ummat ini terhadap konsep fiqih tentang fardhu kifayah.

Penafsiran fardhu kifayah yang telah beredar di kalangan kita adalah 'kalau ada sebagian ummat (orang) yang melaksanakannya maka terlepaslah dosa bagi mereka yang tidak melaksanakan nya,' padahal yang dimaksud dengan 'qama bihi' (melaksanakannya) adalah melaksanakan suatu perintah dengan profesional (sempurna) hingga mencukupi prosentase sosial (kebutuhan sosial) bukan hanya sekedar melaksanakan. (17)

Inilah diantaranya hal-hal yang menjadi evaluasi bagi para perancang kurikulum pendidikan yang berprinsip “asal jadi”. Dengan demikian, dunia pendidikan Islam sangat membutuhkan langkah-langkah strategis untuk menyambut kebangkitan sains dan teknologi di abad ini. Diantara strategi itu (18):

1. Diperlukan kode etik dalam bidang pemikiran Islam dan pengetahuan Islam yang disandarkan pada konsep-konsep Al Qur'an. Dan dipahami dengan bahasa Arab sebagaimana Rasulullah Saw dan generasi Islam pertama.

Poin ini sangat penting untuk mengantarkan kaum muslimin unutk mencapai produk-produk teknologi yang pernah dicapainya pada abad pertengahan. Ini bukan berarti kita ingin bernostalgia dengan kejayaan kita saat itu. Akan tetapi yang kita inginkan adalah metode pemikiran Islam yang orisinil. Tujuannya untuk menghindari pola pikir yang tunggal material-oriented dalam menyikapi gejolak sains dan teknologi.

Konsekuensinya, menuntut dicantumkannya materi ilmu-ilmu alam, hitung dan teknologi menurut visi Islam dalam kurikulum pendidikan Islam konvensional, baik disekolah-sekolah pemula atau perguruan tinggi dengan menanamkan persepsi bahwa semua adalah ilmu Islam.

Sebaliknya, dalam kurikulum pendidikan ketrampilan praktis (bidang ilmu dan teknologi) juga tidak bisa menganaktirikan pendidikan ilmu-ilmu kemanusiaan dan sosial visi Islam. Tujuannya tidak lain untuk menghindari adanya split antara dua metode pengajaran ; yang bersifat kontemporer (ilmi) dan syar'i.

2. Perlu adanya dukungan dari siyasah syar'iyah (al Daulah). Karena pada hakekatnya ialah motor utama menuju kebangkitan. Institusi Syariah dan hukum-hukumnya merupakan syarat yang sangat vital dalam menyongsong kebangkitan ilmu dan teknologi Islam modern.

Dipihak lain menunjukkan bahkan instabilitas politik, chauvisme sosial dan segala tindakan diktator dan otoriter penguasa mengakibatkan fenomena 'brain-drain' (pemerasan kekuatan intelektualitas), disamping juga atau menghancurkan asas-asas dan basis-basis teknologi dan pemikiran suatu bangsa.

Diantara syarat-syarat yang sangat mendukung ke arah pencapaian kemajuan dan kebangkitan ilmu dan teknologi adalah memberantas rasa iri dan dengki, menegakkan prinsip egaliter atau prinsip insaniyatul insan, menciptakan keadilan (termasuk adil di depan hukum) dan membuka keran-keran kebebasan berpikir dan mengungkapkan pendapat (dalam bidang sosial, politik dan pemikiran Islam). Kecemerlangan karya Ibnu Rusyd tidak menutup kemungkinan karena didukung oleh kondisi sosial dan politik saat itu.

3. Perlu adanya kerjasama regional dan internasional diantara kaum muslimin, baik instansi pemerintah atau non-pemerintah. Ini berarti memberi kesempatan semua kalangan, pemerintah dan sipil, untuk turut berkiprah dalam pengembangan sains dan teknologi. Akan tetapi semua itu masih tetap dalam bingkai etika Iptek Islam.

4. Perhatian terhadap pengembangan dan penguasaan bahasa Arab juga sangat urgen untuk mencapai sains dan teknologi Islam. Ia bertujuan agar kaum muslim mampu menguasai dasar-dasar Islam dengan baik dan benar. Selain itu juga sangat diperlukan penguasaan bahasa dunia lainnya demi menjalin hubungan internasional.

5. Perlu adanya perhatian khusus untuk mendirikan pusat-pusat penelitian dan penemuan ilmiah di dunia Islam yang didalamnya terdapat para ilmuwan muslim yang profesional.

Adanya para pakar muslim dalam pusat-pusat kegiatan tersebut sangat penting karena merekalah yang akan mengontrol,mengarahkan dan meletakkan petunjuk pelaksanaan kerjanya sesuai dengan prinsip-prinsip Islam yang universal dan sesuai dengan prioritas kerja yang dibutuhkan.

Begitu juga diperlukan adanya tunjangan khusus bagi mereka yang berbakat dan berprestasi. Semua ini membutuhkan sebuah kepercayaan diri yang dalam bahwa dunia Islam saat ini sangat membutuhkan Tatanan Dunia Ilmu dan Peradaban Islam yang baru.

6. Mengharuskan adanya usaha dari pihak khusus untuk mengembalikan para petualang intelektual dan profesionalis yang lari ke negara-negara industri, baik mereka itu menjadi penduduk setempat atau sekedar imigran. Baik itu muslim atau bukan. Demi memenuhi kebutuhan keperluan proyek pembangunan, kemajuan dan kebangkitan. Mungkin dengan menempatkan mereka pada posisi atau jabatan penting dalam negara, atau memberikan gaji yang sesuai dengan status ilmiahnya.

7. Adanya tanggung jawab khusus yang dipikul diatas pundak ilmuwan dan profesional muslim di dunia Islam manapun. Apalagi dalam kondisi ummat Islam ini yang minim para ahli sains dan teknologi. Mereka seharusnya mempunyai tanggung jawab untuk mengadakan kontak dan tukar pikiran lintas disiplin ilmu. Sejarah Islam mencatat betapa pentingnya peran para utusan Rasulullah Saw dan khalifah ke seluruh negeri Islam saat itu.

Penutup

Memahami dan menangkap suatu pesan dengan benar adalah nikmat yang terbesar yang diberikan Allah Swt pada hambanya. Bahkan tidak ada suatu nikmat yang lebih utama, setelah Islam yang Allah Swt berikan kepada hambanya daripada nikmat 'al fahmu al shalih', bahkan kedua-duanya merupakan soko-guru Islam (19).

Permasalahan pendidikan di dunia Islam sangatlah kompleks. Ia memerlukan pemetaan kerja kembali secara arif dan bijak. Penyatuan konsep orisinalitas dan kontemporer merupakan jalan yang baik. Selain juga membutuhkan skala prioritas kerja yang selaras, serasi dan seimbang sejalan dengan semangat Islam.

Tulisan ini tentunya belum mewakili sepenuhnya untuk mengobati kelesuan dunia pendidikan Islam dalam mencapai kemajuan dan kebangkitan yang kita harapkan. Semoga Allah SWT menggugah para hamba -Nya yang berkompeten dalam masalah ini untuk lebih jauh melangkah ke depan demi kejayaan ummat Islam. Amien

Footnote

1. Umar Abid Hasanah, Murajaat fi al fikri wa al da'wah wa al hadharah, IIIT,Cet I 1991, hal.53-54.

2. Ibid, Cet I, hal 56

3. Ibid

4. Ibid, Cet I, hal 57

5. Dr. Yusuf Qardhawi, Al Rasul wa al Ilm, Cairo, Dar al Shahwah, hal 13.

6. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi: "Janganlah seseorang diantara kamu menjadi orang yang oportunis yang mengatakan, 'Diriku tergantung pada manusia,jika mereka baik maka baiklah saya dan jika mereka rusak maka rusaklah saya.'"

7. Shahih Bukhari, fath al Bari, Cet Al Halaby, Juz I, hal 169.

8. Dr. Yusuf Qardhawy, Op. Cit, hal.17

9. Sayyid Qutb, MA'alim fi al Thariq, Cairo, Daar al Syuruq, Cet XV, 1992, hal 143

10. Ibnu Taimiyah, Al Fatawa: Qital ahli al baghy, vol.35, hal.20

11. Umar Abid Hasanah, Op.Cit.,hal.77

12. Dr. Adil al Syuaikh, Rabbaniya al Ta'lim, Dar al Basyir, Tanta, Cet III, 1999, hal 13-19.

13. Imam Mawardi, Adab al Dunya wa al din, hal 55

14. Al Ghazali, Ihya ulum al din, Al Manshurah, Dar Fayadh, Vol.1.

15. Shahih Muslim bi syarh al Nawawy, Cairo, Dar al Hadits, Cet.III,1998, hal.110

16. Al Ghazali, Op.Cit, hal 71

17. Umar Abid Hasanah, Op.Cit, hal 80

18. Dr Sayyid Waqqar al Husain, Al Siyasat al Ilmiah wa al Teknologia 'inda al Muslimin Durus wa Ibar, 'Amman, Maktabah al Durar, Cet. I, 1998, hal.37-41

19. Ibnu Qayyim al Jauziyah, I'lam al Muwaqi'in, Cairo, Dar al Hadits, Cet.III,1997,hal.86.

Friday 21 May 2010

Bagaimana Liberalisme Menyusupi Dunia Arab?

by : Nirwan Syafrin (Kandidat Doktor ISTAC-IIUM Kualalumpur)

Abad ke-18 bagi dunia Islam merupakan abad kejatuhan dan keterpurukan. Saat itu banyak teritori dunia Islam yang jatuh ke tangan Kolonial Eropa. Tahun 1774, di bawah perjanjian Kuchuk Kainarja, Daulah Utsmaniyyah terpaksa melepaskan beberapa teritorinya kepada Rusia. Dan keadaan menjadi parah ketika Napoleon berhasil melakukan invasi militer ke Mesir pada tahun 1798. Menjelang abad 20, banyak dunia Islam yang sudah berada di bawah kontrol negara asing alias dijajah.

Peristiwa ini telah mendorong intelektual Muslim Rifa’ah Tahtawi, Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad ‘Abduh, di Timur Tengah; Syed Ahmad Khan dan Syed Amir Ali di Benua India, melakukan pembenahan. Mereka ini lalu disusul oleh generasi baru yang dinilai orang dengan berbagai sebutan, seperti pembaharuan (tajdid), modernisasi, sekularisasi, dan bahkan liberalisasi. Albert Hourani, misalnya, menyebut rentang waktu 1798-1939 sebagai Abad Kebebasan (Liberal Age) dalam Islam.

Namun, masalahnya apakah gerakan ini dapat disebut gerakan tajdid yakni pembaharuan pemikiran seperti dalam tradisi intelektual Islam atau liberalisasi seperti yang terjadi di Barat, hal ini memerlukan penjelasan. Namun, dari peristiwa politik ini respons yang muncul justru berbalik mengkritik tradisi Islam.

Memang tak lama setelah peristiwa tersebut, ‘Azm pun mulai menulis beberapa artikel dan buku yang mengkritik tradisi intelektual Islam. Ia menulis, misalnya al-Naqd al-Dhati Ba’da al-Hazimah dan Naqd al-Fikr al-Dini, yang kedua ini dianggap sangat kontroversial. Dalam buku ini dia mempertanyakan cerita Alquran tentang kejadian nabi Adam (AS) serta perintah Allah terhadap Iblis untuk sujud patuh pada nabi Adam apakah hanya sekadar sebuah mitos atau kejadian yang sebenarnya.

Dia juga mempersoalkan keimanan umat Islam pada Jin dan Malaikat sebagai berdasarkan mitologi Tuhan Yunani. Karena menurutnya kisah yang disebutkan di atas itu tidak bisa dibuktikan secara saintifik. Karena isi buku ini, penulisnya dihadapkan ke pengadilan, dan bukunya dilarang beredar.

‘Azm ternyata tidak sendiri. Hasan Hanafi, misalnya, tampil dengan al-Turth wa al-Tajd d, Tayyib Tizini dengan gagasan Min al-Turath ila al-Thawrah, dan Husayn Muruwwah dengan al-Naz'ah alddiyah fi al-Falsafah al-Isl miyyah. Mohammad Arkoun mengambil inisiatif untuk membangun Proyek Kritik Nalar Islam (Naqd al-`Aql al-Islam) sementara Mohammad `Abid al-Jabiri melakukan Kritik Nalar Arab (Naqd al-`Aql al-`Arabi).

Kritik para intelektual Arab di atas menurut Abu Rabi' dilakukan dari latar belakang ideologis, meskipun terdapat pula dari latar belakang tradisi keilmuan Islam. (Ibrahim Abu Rabi', Contemporary Arab Thought, 10). Karena nuansa kritis terhadap tradisi intelektual Islam begitu menonjol, maka Fadi Isma`il menyimpulkan bahwa dunia intelektual Arab memasuki periode baru yang ia sebut "a stage of epistemic critique."( F di Ism'l, al-Khit b al-`Arabi al-Mu' sir, 28).

Di sini proyeknya bukan lagi kritik tapi malah menjadi penilaian total atas warisan pemikiran Islam, tak terkecuali bangunan Islam itu sendiri. Pemikiran liberal yang berkembang hari ini, menurut sementara orang merupakan lanjutan dari gerakan pembaharuan yang dibangun Afghani, Abduh, dan muridmuridnya. Tapi sebenarnya tidak demikian.

Seperti dikemukan oleh Nissim Rejwan, Pembaharuan Afghani dan Abduh tidak bertujuan melakukan "penilaian intelektual yang radikal terhadap Islam atau berusaha melakukan revisi terhadap ajaran-ajaran pokoknya."(radical intellectual reexamination of Islam or sought at a revision of its basic precepts." (Arabs Face the Modern World, 3). Yang benar, pemikiran pembaharuan para intelektual Arab di atas mengikuti jejak intelektual Arab sesudah Afghani-Abduh, seperti Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Hasan Hanafi, Abid al-Jabiri dsb.

Perbedaannya begitu jelas. Arkoun dan Nasr Hamid, misalnya mengutak-atik konsep wahyu, Alquran, iman, Islam dan sebagainya. Hasan Hanafi mengajak umat ini agar membersihkan bahasa mereka dari kosa kata-kosa kata seperti Allah, surga, neraka, akhirat, hisab, siksa, sirat, timbangan (mizan)," karena "akal manusia tidak bisa berinteraksi dengan kata-kata tersebut tanpa melalu pemahaman, penafsiran, dan ta'wil," (Louy Safi, "al-`Aql wa al-Tajdid," dalam Qadaya al-Tanwir wa alNahdah, 57). Padahal kata-kata tersebut adalah kata kunci dalam membentuk pandangan hidup Islam (Islamic world-view).

Selain itu Abdullah Ahmad an-Na'im, pemikir asal Sudan tampil mempersoalkan qa'idah fiqh klasik "la ijtihada fi mawrid al-nass (tidak dibenarkan ijtihad ketika ada nass Alquran). Karena jika aksioma ini tidak diruntuhkan, menurut dia, kita tidak akan bisa melakukan pembaharuan terhadap hukum-hukum bermasalah seperti hukum yang terkait dengan hajat publik seperti hukum hudud, qisas, dst. Karena hukum ini sudah ditetapkan oleh nas-nas qat'i dalam Alquran. (Abdullah Ahmad anNa'im, Toward an Islamic Reformation, 49-50).

Di samping itu kaum liberal juga mempertanyakan hukum Islam yang selalu berorientasi teks (Alquran dan Sunnah). Bagi Jabiri, hal ini disebabkan begitu dominannya metode qiyasi yang dibangun oleh Imam Syafi'i yang selalu mengedepankan teks ketimbang pertimbangan yang lain. Bahkan Imam Syafi'i dikritik karena dianggap bertanggung jawab membekukan pemikiran Islam dengan metode usul fiqhnya. Nampaknya mereka menginginkan agar umat Islam menggunakan akalnya dan membebaskan diri mereka dari teks. Dan juga agar umat Islam mendekonstruksi basis epistemologi Islam.

Padahal baik Afghani maupun Abduh tidak pernah mempersoalkan masalah-masalah keilmuan Islam. Meski keduanya kerap mengkritik ulama silam, namun mereka tidak pernah mempersoalkan bangunan epistemologi dan metodologi mereka. Sementara pemikir Arab yang diantaranya disebutkan diatas justru merombak dan membongkar dasar-dasar epistemologi Islam, khususnya untuk hukum Islam. Mereka itulah diantara sumber pemikiran liberal di Indonesia dan mereka itulah pemikir liberal di dunia Arab.

Selangkah Lagi, Australia Adopsi Sistem Keuangan Syariah | Republika Online

http://www.republika.co.id/berita/bisnis-syariah/berita/10/05/19/116197-selangkah-lagi-australia-adopsi-sistem-keuangan-syariah
REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE--Pemerintah Australia telah meminta Dewan Pajak untuk meninjau aturan baru perpajakab bagi keuangan Islam di Australia. Bila urusan pajak ini selesai, maka dipastikan Australia bakal membuka keran perizinan bagi pendirian institusi keuangan berbasis syariah di negeri itu.

"Kajian ini akan menjadi analisis komprehensif undang-undang pajak Australia untuk memastikan mereka tidak menghambat penyediaan institusi keuangan Islam, perbankan, dan produk asuransi," kata anggota legislator bidang keuangan Parlemen Australia, Nick Sherry dalam sebuah pernyataan pada hari Rabu. "Review ini bukan tentang membuat perlakuan khusus, tapi tentang menciptakan sebuah lapangan bermain yang adil dan penyediaan aneka produk keuangan syariah ke pasar Australia."

Termasuk dalam kajian itu adalah memperbandingkan respons kebijakan pajak bagi pengembangan produk keuangan Islam di Inggris, Prancis, Korea Selatan, dan Asia. Termasuk di dalamnya, adalah piranti hukum apa saja yang harus disediakan.

Sherry mengatakan dewan akan membuat rekomendasi untuk memastikan, bahwa produk keuangan Islam mendapat perlakuan pajak yang adil dengan produk konvensional. Menurutnya, amandemen UU pajak perlu dilakukan untuk kerangka pajak yang ada, daripada mengembangkan ketentuan-ketentuan khusus secara langsung pada produk-produk keuangan Islam.

Dia mengatakan Australia tak bisa menutup pintu bagi produk keuangan syariah. Menurutnya, keuangan Islam adalah bagian yang berkembang pesat dari sistem keuangan global.

Written by : Siwi Tri Puji.B

Parlemen New South Wales Tolak Proposal Larangan Cadar

REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY--Sementara di Eropa banyak negara seolah berlomba melarang pemakaian cadar, tak demikian dengan negara bagian New South Wales di Australia. Hari ini, mayoritas anggota parlemen di negara bagian Australia yang paling padat penduduknya itu memilih menentang larangan cadar. Mereka bahkan menuduh salah satu anggota parlemen yang ngotot memasukkan proposal larangan cadar itu sebagai "berupaya membuat stigma atas umat Islam".

Fred Nil, anggota parlemen dari partai sayap kanan Kristen Demokrat, mendesak parlemen New South Wales untuk mendukung melarang cadar dengan  alasan keamanan. Ia juga menyebut cadar menunjukkan dominasi pria atas wanita.

Atas usulan itu, parlemen mengadakan voting. Hasilnya, 26 anggota menolak usulan itu dan hanya tiga orang yang setuju.

Partai Buruh dan partai Greens yang lebih radikal menyebut usulan itu semestinya ditolah sejak awal. Dalam siaran pers tertulisnya, mereka menyebut usulan itu sebagai "rasis". "Tidak ada urgensi dalam menyebarkan ketakutan dan kebencian lebih lanjut dalam komunitas kami, " kata anggota parlemen beragama Islam dari Partai Buruh, Shaoquett Moslmane

Sedang John Kaye dari Partai Greens menyebut Nil tengah melakukan upaya stigmatisasi Muslim di Australia.

Persoalan cadar menghangat di Australia setelah senator dari Partai Konservatif Cory Bernardi menyerukan pelarangan cadar di seluruh Australia. Ia khawatir cadar disalahgunakan oleh bandit untuk menyamar. Ia merujuk pada sebuah perampokan di Sydney dimana pelakunya menggunakan pakaian Muslimah lengkap dengan cadar.

Dalam soal cadar, Perdana Menteri Kevin Rudd telah bersuara. Menurutnya, pelarangan cadar bukanlah prioritas kebijakannya saat ini.

Saat ini, jumlah Muslim di Australia  1,7 persen dari 22 juta warga. Ketegangan antaragama beberapa kali terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Sentimen anti-Muslim berkobar di selatan Sydney pada bulan Desember 2005 ketika massa kulit putih Australia menyerang warga Australia kelahiran Libanon ada dalam upaya untuk "memurnikan Australia."

written by : Siwi Tri Puji.B
reference : AP

Kemiripan Warna Liberalisme dalam Islam dan Katolik.

by : Dr Hamid Fahmy Zarkasyi (Direktur INSISTS)

Dalam sebuah situs Katolik di Amerika, terdapat artikel berjudul The Evil of Liberalism, ditulis oleh Judson Taylor, tokoh besar Missionaris. Artikel itu ditulis pada awal abad ke-19 (1850an), dalam sebuah buku kumpulan essai berjudul An Old Landmark Re-Set diterbitkan ulang tahun 1856 dengan editor Elder Taylor. Di dalam pengantarnya editor situs itu menulis bahwa misi yang disampaikan artikel itu lebih cocok untuk kita pada hari ini. Sebab perkembangan liberalisme ke agamaan, akhir-akhir ini benar-be nar menakjubkan orang tapi seluruh nya destruktif bagi kitab suci Kristen.

Makalah itu dimulai dengan pernyataan tegas “Liberalisme telah menggantikan Persecutiton”. Persecutiton artinya panganiayaan atau pembunuhan. Dalam tradisi Kristen penganiayaan terjadi karena adanya keyakinan yang menyimpang (heresy) dalam teologi. Artinya liberalisme sama dengan penganiayaan. Hanya saja, lanjutnya, jika Persecution membunuh orang, tapi menyuburkan penyebabnya, maka liberalisme membunuh sebabnya dan menyuburkan pikiran orang. Dalam artian liberalisme memenangkan akal manusia daripada firman atau ajaran Tuhan.

Memang dalam sejarah agama Katolik, Persecution atau yang lebih hebat lagi inquisition merupakan alat pembela kebenaran agama. Cara ini, kata Judson Taylor, lebih disukai dari pada daripada kompromi Kebenaran versi liberal. Kompromi kebenaran mungkin sekarang ini menjadi relativisme yang mengakui semua benar meskipun salah satunya salah. Itu pun tidak konsisten. Dalam banyak kasus, orang liberal yakin bahwa Bible banyak masalah sedangkan kebejatan moral zaman ini malah tidak masalah.

Judson nampaknya belum curiga pada paham nihilisme atau pluralisme pemikir liberal. Sebab memang, ketika artikel ini ditulis, pemikiran Nietzsche masih sedang mencari bentuknya, dan faham pluralisme agama masih belum lahir. Dalam bahasa Judson, kaum liberal lebih cenderung permisif alias bersahabat dengan semua sekte dan kemunkaran.

Blunder yang terbesar di zaman ini, kata Judson, adalah mengakui liberalisme yang mendukung kesesatan demi persatuan (union). Padahal persatuan (kebenaran dan kesalahan) yang dimaksud liberal itu justru akan berakhir dengan kekacauan. Selain itu, cara berfikir liberal yang konon netral dan rasional itu ternyata memihak juga.

Akhirnya, Judson membuat ciri-ciri liberalisme keagamaan menjadi tujuh tapi yang utama ada enam: Pertama banyak mengingkari firman Tuhan. Kedua mengakui berbagai kesalahan di zamannya dan juga kebenaran. Tapi lebih banyak mengakui kesalahan. Ketiga, mengakui Tuhan hanya sebatas untuk kepentingan kemanusiaan, ketika ajaran Tuhan tidak dapat diterima maka akal manusia dimenangkan. Keempat, tidak ada yang mutlak dan pasti tentang Tuhan. Kelima, mempromosikan keraguan beragama yang tidak berarti. Keenam, mendukung keyakinan keagamaan dan prakteknya yang popular.

Orang yang berpikir liberal umumnya hanya ingin menghargai pemikiran bebas. Bebas dari kepercayaan yang dianggap membelenggu. Aroma humanisme begitu menonjol. Sebab manusia menjadi ukuran segala sesuatu (man is a measure of everything).Gejala liberalisme di alam pikiran Kristiani abad ke-19 itu sudah nampak jelas kesamaannya dengan liberalisasi pemikiran Islam di dunia Islam saat ini.

Pertama, Muslim liberal menggugat Alquran. Kedua Muslim liberal membela aliran sesat. Ketiga, Muslim liberal mendahulukan akal dan kemanusiaan daripada Tuhan. Keempat, Muslim liberal mendukung faham relativisme. Kelima, Muslim liberal mempromosikan faham skeptisisme. Ketika kami ceramah pemikiran di Surabaya, seorang audien yang kebetulan mualaf tiba-tiba menyalami kami. Ia lalu meyakinkan kami bahwa liberalisasi pemikiran dalam Islam tidak jauh beda dari pengalamannya dalam Katolik.

Ucapan mualaf tersebut tidak perlu banyak bukti. Cukup dari pernyataan seorang mahasiswa liberal yang menyatakan bahwa agar Islam maju, maka tirulah Protestan. Itulah, liberalisme yang nama dan substansinya merupakan hasil adopsi total konsep-konsep Liberal Barat. Jika, dijustifikasi menjadi Islam liberal maka itu berarti Islam yang mem-Barat.